SELAMAT DATANG DI BLOGGER FATHUR TAUFIK S.Pd.I SEMOGA BLOGGER INI BISA BERMANFAAT BAGI TEMAN-TEMAN SENASIB SEPERJUANGAN

Jumat, 05 November 2010

Ilmu dalam Al-Qur,an dan sunnah


Ilmu dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dalam mendudukkan ilmu dan dalil-dalil syar'i, ada kekeliruan yang hampir menjadi konsumsi umum, tidak saja kalangan orang awam, tapi juga sebagian kalangan intelektual bahkan mereka yang biasa mengajarkan din (baca: ustadz). Umumnya mereka menyamaratakan terminologi ilmu, baik ilmu syar'i maupun ilmu duniawi. Ironinya, yang mereka pakai untuk mendalili masalah ilmu itu justeru dalil-dalil yang sesungguhnya khusus untuk ilmu syar'i. Nabi ` bersabda:
"Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, niscaya ia dipahamkan dalam urusan agama." (HR. Bukhari dan Muslim).
"Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu, barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian (warisan) yang banyak." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Kita sangat paham, yang diwariskan para nabi tidak lain adalah ilmu syar'i, bukan ilmu-ilmu lain. Karena itu, sangat wajar ketika Nabi ` salah menegur para sahabat yang mengawinkan bunga pohon kurma. Sehingga beliau bersabda:
"Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian."(HR. Muslim).
Jika yang dimaksud ilmu dalam terminologi Al-Qur'an dan As-Sunnah itu termasuk juga ilmu duniawi, tentu Nabi saw. adalah orang yang mestinya paling lebih tahu. (Mujammad Ibn Utsmain, Kitabul Ilmi, 5-7). Maka yang dimaksud orang alim ditinggikan derajatnya oleh Allah dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 adalah alim dalam ilmu syar'i. Allah ` berfirman:
"Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat." (Al-Mujadalah: 11).
Asy-Syaukani dalam tafsirnya, Fathul Qadir, mengatakan: "Makna ayat tersebut adalah Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman atas orang-orang yang tidak beriman beberapa derajat. Dan Allah akan mengangkat derajat (orang-orang beriman) yang berilmu atas orang-orang yang beriman (saja, tetapi tidak berilmu) beberapa derajat. Dan barangsiapa menghimpun iman dan ilmu dalam dirinya maka dengan imannya Allah akan mengangkatnya beberapa derajat, dan dengan ilmunya pula Allah akan mengangkatnya (lagi) beberapa derajat. Ada pendapat yang mengatakan, yang dimaksud ilmu di sini adalah orang-orang yang ahli dalam bacaan Al-Qur'an (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, h. 418). Namun konteks ayat itu sesungguhnya adalah umum. Yakni setiap mukmin yang berilmu syar'i dalam berbagai disiplinnya seperti ilmu aqidah, Tafsir, Hadis, dll. Sebab tidak ada dalil yang menunjukkan adanya pengkhususan ilmu syar'i tertentu atas ilmu-ilmu yang lain (dalam konteks ayat tersebut)." (Syaukani, Fathul Qadir, h. 189)
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa sebegitu superior kedudukan ilmu syar'i dibanding ilmu-ilmu lain (baca: duniawi)? Analisa empiriknya adalah sebagai berikut; Tidak ada satu materi pun dari ilmu syar'i yang secara substantif membahayakan atau berdampak negatif. Semua ilmu syar'i adalah bermanfaat dan untuk kemaslahatan umat manusia. Berbeda dengan ilmu duniawi, ia memiliki dua sisi ketajaman; sarana kemanfaatan umat manusia dan atau sarana penghancur kehidupan. Karena itu, menentukan hukum ilmu duniawi harus terlebih dahulu ditinjau dari sisi kemanfaatan dan kemudharatannya. Dan secara umum, bila ilmu duniawi itu baik dan untuk kemaslahatan manusia, maka hukum mempelajarinya bisa menjadi fardhu kifayah, manakala masuk dalam firman Allahl:
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang." (Al-Anfal: 60).
Demikian itulah sudut pandang agama terhadap ilmu secara umum.
Hukum Menuntut Ilmu Syar'i
Dari segi obyeknya, menuntut ilmu syar'i (agama) secara muthlak hukumnya adalah fardhu kifayah. Hal ini berdasarkan firman Allah:
"Tidaklah sepatutnya segenap kaum mukminin itu berangkat berperang. Mengapa tidak ada segolongan dari mereka yang berangkat untuk mendalami urusan din dan agar mereka memberi peringatan kepada kaum mereka bila mereka telah kembali, mudah-mudahan mereka menjadi ingat."(QS. al-Taubah: 122)
Tapi ditinjau dari sisi subyeknya, maka hukum menuntut ilmu syar'i bisa menjadi fardhu ain (wajib secara individu). Dalam arti, setiap orang wajib mengetahui (mengilmui) setiap ibadah atau muamalah yang dikerjakannya. Karena Islam sangat menekankan ilmu sebelum beramal. Seorang pribadi muslim adalah seorang yang bertindak dan berbuat berdasarkan pengetahuan, bukan latah dan asal melangkah. Dalam bahasa modern, pribadi muslim adalah pribadi yang profesional, yang berbuat berdasarkan ilmu dan konsep yang matang. Allahl berfirman:
"Dan janganlah engkau berpijak (bertindak) tidak atas berdasarkan ilmu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu ada pertanggungjawabannya."(QS. al-Isra': 36).
Ketika Manusia Penasaran
"Segala manusia ingin mengetahui", demikian kalimat pembukaan karya Aristoteles, Metaphysica. Apa yang ingin diketahui manusia itu bersifat umum, kompleks dan mengandung pengertian yang sangat luas. Dan yang paling utama adalah kegelisahan untuk mengetahui ilmu agama, tetapi juga termasuk di dalamnya segala disiplin ilmu. Kegelisahan manusia untuk selalu mengetahui, termasuk mengetahui hal-hal baru tersebut, bagi para ilmuwan adalah sebuah keniscayaan, kecuali jika ajaran atau ilmu tersebut jelas-jelas bertentangan dengan aqidah. Dengan kata lain, menfungsikan akal secara dinamiskreatif haruslah dengan memposisikan akal di bawah superioritas wahyu (baca: landasan syar'i). Sehingga ketika terjadi kontradiksi antara keduanya, maka yang didahulukan adalah wahyu, bukan akal seperti prinsip Mu'tazilah.
Posisi Akal dalam Ilmu Syariah
Karena kebebasan berfikir sebagai akibat dari, di antaranya, pesatnya perkembangan berbagai ilmu pengetahuan, utamanya dalam hal ini adalah filsafat maka tak sedikit intelektual muslim (demikian biasa disebut orang) yang kebablasan. Dengan gegap gempita mereka menyuarakan perlunya merekonstruksi kembali tatanan dan hukum-hukum agama yang telah baku sejak awal sejarah Islam. Ironinya, mereka senang mengutak-atik hal-hal yang telah clear and distinc (jelas dan tegas) dalam agama daripada membahas persoalan-persoalan aktual yang muncul yang belum ada pembahasan sebelumnya. Hal-hal yang mereka bahas itu entah dengan motivasi apa dan karena siapa di antaranya adalah masalah hukum waris, salam, gender, jilbab dan sejenisnya yang sebetulnya telah selesai dibahas dengan dalil-dalil yang autentik dan tegas kesahihannya, kecuali jika interpretasinya diplintir dan konstruksi kebenaran agama diporakporandakan parameternya.
Bila kita cermati kehidupan masyarakat, ada dua fenomena menonjol yang saling berlawanan tentang penggunaan akal, yang ironinya masing-masing menunjukkan ekstrimitas. Yang per tama adalah fenomena filsafat yang identik dengan kebebasan berfikir tanpa batas, tanpa mau mengenal petunjuk-petunjuk wahyu dan agama. Bahkan menjadi 'sesuatu yang lucu dan dihinakan' di kalangan filsuf bila ada yang berbicara filsafat memakai dalil-dalil agama. Karena itu, para filsuf besar lebih banyak 'beragama' filsafat, ilmu yang digelutinya tiap saat. Menuhankan akal pikirannya, atau bahkan tidak bertuhan sama sekali (atheis). Yang sangat memiriskan, tidak sedikit intelektual muslim yang bergelut dengan filsafat terkena pengaruh tradisi dan pola pikir filsafat. Fenomena kedua adalah adanya kelompok manusia, juga sebagian umat Islam yang sangat meremehkan penggunaan akal. Bahkan kenyataan yang ada mengesankan, sebaiknya orang tidak usah berfikir dan menggunakan akalnya. Orang yang berbicara dengan metode berfikir yang runut, logis, kritis dan argumentatif serta merta dijuluki sebagai 'aqlani, menyimpang dan sebagainya, padahal belum tentu menyimpang dari wahyu.
Rambu-rambu Akal
Betapapun begitu, penggunaan akal tanpa batas, jelas jauh lebih sangat berbahaya dari mempensiunkan akal untuk berfikir. Sebab jika terlalu jauh, ia akan menuhankan akalnya, menjauhi ilmu syar'i dan imannya hilang. Untuk itu, dalam hal penggunaan akal, paling tidak ada sebelas rambu-rambu yang mesti diperhatikan:
Pertama, memahami bahwa dasar agama bukanlah akal atau logika manusia, melainkan wahyu Allah; Al-Qur'an dan As-Sunnah. Karena seberapa pun canggih akal manusia, tetapi di hadapan wahyu Allah ia adalah lemah.
Kedua, memahami adanya ayat-ayat muhkamat (yang terang dan tegas maksudnya dan dapat dipahami dengan mudah) dan ayat-ayat mutasyabihat; ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti dan maknanya kecuali sesudah diselidiki secara mendalam, atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib. Ini tentunya agar tidak terjebak dalam memahami ayat al-Qur'an, sebagaimana para filsuf.
Ketiga, Apabila suatu masalah telah ada dalilnya, baik dari Al-Qur'an maupun Hadits sahih, maka akal atau logika manusia harus tunduk, karena ia adalah tuntunan dan wahyu Allah.
Keempat, tidak mengubah pengertian dalil dari pengertian aslinya. Biasanya hal ini dilakukan dengan memotong-motong dalil disesuaikan dengan keinginan dan hawa nafsu.
Kelima, Tidak meng gunakan takwil. Yakni pengalihan dari makna yang dekat kepada makna yang jauh.
Keenam, tidak menggunakan qiyas (analog) yang bertentangan dengan dalil. Para ulama Salaf mengatakan, menggunakan qiyas yang bertentangan dengan nash (dalil) adalah cara iblis.
Ketujuh, memahami mana yang termasuk wilayah ijtihad dan mana yang bukan. Karena tidak semua masalah dalam agama bisa dimasuki daya kritis otak manusia.
Kedelapan, menahan diri dari membahas hal-hal yang tidak perlu, karena hal itu bisa memporak-porandakan hukum agama.
Kesembilan, memiliki landasan pemahaman agama yang kuat dan mendalam melalui penguasaan berbagai disiplin ilmu agama.
Kesepuluh, menguasai bahasa Arab dengan baik. Karena mayoritas teks-teks agama adalah ditulis dengan bahasa Arab.
Kesebelas, memiliki motivasi yang ikhlas untuk pengembangan kajian keilmuan Islam, bukan motivasi-motivasi lain yang bersifat duniawiah dan sesaat.
Bila kesebelas rambu-rambu di atas diperhatikan sebelum daya kritis dan berfikir filosofis diterapkan dalam kajian Islam, maka insya Allah out put yang kita panen adalah keterarahan kajian Islam pada rel yang benar dan kebergairahan pengembangan metodologi dan berfikir kritis analitis demi kemajuan pengembangan kajian-kajian Islam.
Kebutuhan ilmu syar'i dan kaderisasi
Ada banyak alasan bahwa kebutuhan kita terhadap ilmu syar'i saat ini sangat mendesak, di antaranya:
Pertama, semakin merebaknya berbagai bid'ah di tengah-tengah umat Islam. Apalagi di era reformasi ini, hampir tidak ada yang mampu membendung berbagai kreasi dan inovasi baru dalam perkara agama (baca: bid'ah), karena kran kebebasan dibuka seluas-luasnya.
Kedua, semakin suburnya orang-orang yang berbaju ulama, tetapi bukan ulama. Mereka dengan mudahnya memberikan fatwa-fatwa agama tanpa didasari ilmu, melainkan dengan logika/akal dan atau pada perasaan mereka. Di sisi lain, masyarakat buta untuk bisa membedakan fatwa yang benar dengan fatwa yang menyalahi dalil.
Ketiga, kecenderungan untuk mendudukkan diri sendiri sejajar dengan para ulama salafush shalih. Misalnya dengan jargon, mereka laki-laki, maka kita juga laki-laki. Dalam arti, punya kewenangan dan otoritas yang sama dalam membahas dan atau mencermati kemudian mengambil kesimpulan hukum/ berijtihad. Implikasinya, banyak berbagai persoalan yang menurut para ulama telah jelas, diutak-atik kembali dan dijungkirbalikkan dengan tanpa ditopang dalil yang kuat, malahan terkadang hanya berdasarkan logika yang lemah. Istilah mereka, perlu diadakan rekonstruksi syari'ah, atau peninjauan dan pembongkaran kembali makna, kandungan, dan hukum-hukum syari'ah.
Berbagai kenyataan di atas menuntut kita umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia untuk segera melakukan kaderisasi ulama. Melakukan terobosan baru dalam metodologi pendidikan dan pengkaderan, misalnya dengan sistem sintesa dari berbagai metodologi yang telah ada.
Hal kongkrit yang bisa dilakukan misalnya dengan memberikan dukungan penuh kepada mereka yang benar-benar mau konsentrasi sepenuhnya untuk menuntut ilmu. Dukungan itu baik secara finansial maupun moral. Hal ini dengan harapan kelak dia akan memiliki pemahaman agama yang mendalam, serta meng gunakan hikmah dalam memperbaiki umat. Sebab gejala yang ada adalah banyak orang yang secara teori menguasai ilmu/pemahaman terhadap berbagai persoalan agama (namun mereka bukan ulama), tetapi tidak mau memperhatikan bagaimana bisa mendidik, memperbaiki dan mengarahkan umat yang merupakan tujuan dakwah. Mereka terpaku pada teks-teks dan hukum-hukum yang ada. Bila kondisi riel masyarakat menyalahi hukum-hukum yang mereka pahami tsb, serta merta keadaan itu divonis. Alih-alih diarahkan, mereka malah dijadikan sasaran tembak.

Urgensi Lembaga Kajian Islam

Ke depan, perlu diberikan wadah yang kondusif untuk peningkatan keilmuan sekaligus sebagai tempat berinteraksi sesama kader. Dan karena itu, adanya Pusat Kajian Islam (di) Indonesia adalah sesuatu yang niscaya. Kita sangat mendukung adanya pondok-pondok pesantren yang secara terus-menerus memberikan pendidikan dan pengajaran ilmu syar'i kepada santri dan masyarakat. Tetapi kalau boleh dipilah, pondok pesantren adalah lembaga Islam yang menangani pendidikan Islam untuk masyarakat secara umum. Adapun Pusat Kajian Islam (di) Indonesia, maka diproyeksikan khusus menangani kader-kader pilihan yang diharapkan menjadi ulama Indonesia masa depan. Jumlah guru dan santrinya tidak perlu dilihat secara kuantitatif, sebab yang paling penting adalah kualitas. Namun hal yang harus diperhatikan sekali adalah adanya sarana-sarana pendukung yang representatif, seperti sarana gedung, dosen yang handal, perpustakaan lengkap, fasilitas beasiswa dan sebagainya. Tidak ber lebihan jika dalam proyek ini kita melakukan stu di banding kepada halaqah syeh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah di kota Qasim Arab Saudi, juga ke tempat-tempat pembinaan kader-kader intelektual dalam berbagai disiplin ilmu yang berbeda di berbagai belahan dunia. Dari berbagai sintesa tersebut, kita kemudian merumuskan sistem pengelolaan Pusat Kajian Islam Indonesia secara modern dan profesional.
Ilmu syar'i adalah mutlak dan sangat penting bagi setiap individu muslim. Karena itu setiap muslim harus menaruh perhatian serius kepada ilmu syar'i, baik yang sifatnya fardhu ain bagi dirinya maupun yang bersifat fardhu kifayah. Penggunaan akal sesuai tuntunan Islam akan menjadikan manusia selalu terarah dan dinamis. Saat ini, kenyataan umat Islam masih jauh dari idealita dan harapan. Untuk itu, yang perlu digarap terlebih dahulu adalah lebih menfokuskan perhatian kepada ilmu syar'i sesuai dengan manhaj salafush shalih. Sebagai salah satu bentuk kaderisasi dan agenda besar umat, perlu didirikan sebuah Pusat Kajian Islam (di) Indonesia yang representatif. Pusat Kajian Islam ini harus digarap dan dikembangkan secara terus-menerus metodologi dan sistemnya,dengan menjadikan para ulama salaf dunia Islam sebagai pembina sekaligus -kalau memungkinkan- dosen-dosen luar biasa. Dan ini tentu memerlukan daya nalar yang kritis kreatif dari pengelola yang diamanati kerja besar tersebut.Ainul Haris





Wanita Karir



BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketika sosok wanita bekerja memasuki masa berumah tangga, segalanya jadi berbeda. Khusus bagi yang sedang berada di puncak karir, haruskah sesuatu yang telah dirintis sejak usia lajang dilepas begitu saja? Ah, keputusan yang sungguh sulit. Memang setiap orang punya pilihan dan prinsip masing-masing untuk meraih kepuasan dalam karirnya. Ada yang merasa masih banyak ambisi dan obsesi yang belum tercapai. Tetapi, haruskah juga keluarga menjadi prioritas kedua? Hal inilah yang kerap jadi dilema dalam kehidupan pasangan suami-istri. Persoalannya tambah tidak sederhana ketika anak juga menuntut perhatian yang khusus dari sang ibu. Bagaimana agar segala keputusan yang diambil dapat menyenangkan semua pihak dalam keluarga

             Peran seorang wanita ketika memasuki jenjang perkawinan tampak menjadi begitu kompleks ketika berbagai kepentingan saling berbenturan. Saat seorang wanita dituntut menjadi ibu yang bertanggungjawab atas keberadaan anak dan tetap utuhnya rumah tangga, disamping keinginan meraih kemajuan dari balik dunia kerja, membuat banyak wanita terperangkap pada dilema. Harus memilih salah satu - keluarga atau karir.
B. Rumusan Masalah
            Pembahasan tentang wanita karir sangatlah luas, namun dalam penulisan makalah ini, penulis membatasi masalah sebagai berikut.
C. Tujuan penulisan
            Dalam setiap penulisan makalah tentunya memiliki tujuan penulisan, dan tujuan makalah ini menjelaskan pengertian wanita karir serta wanita karir dan keluarga.


BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Wanita Kariri
Mengenai tentang pengertian wanita karir itu banyak Pendapat Masalah wanita karier memang jadi bahan pertentangan antara pendukung dan penentangnya. Yang mendukung tentu datang dengan sejumlah dalil serta argumentasi. Dan yang menentangnya pun tidak kalah kuat dalil serta argumennya.
Tentang Khotijah ra seorang pebisnis
Rasulullah punya seorang istri yang tidak hanya berdiam diri serta
bersembunyi di dalam kamarnya. Sebaliknya, dia adalah seorang wanita yang aktif dalam dunia bisnis. Bahkan sebelum beliau menikahinya, beliau pernah menjalin kerjasama bisnis ke negeri Syam. Setelah menikahinya, tidak berarti istrinya itu berhenti dari aktifitasnya. Bahkan harta hasil jerih payah bisnis Khadijah ra itu amat banyak menunjang dakwah di masa awal. Di masa itu, belum ada sumber-sumber dana penunjang dakwah yang bisa diandalkan. Satu-satunya adalah dari kocek seorang donatur setia yaitu istrinya yang pebisnis ondang.
Tentu tidak bisa dibayangkan kalau sebagai pebisnis, sosok Khadijah adalah tipe wanita rumahan yang tidak tahu dunia luar. Sebab bila demikian, bagaimana dia bisa menjalankan bisnisnya itu dengan baik, sementara dia tidak punya akses informasi sedikit pun di balik tembok rumahnya.
         Disini kita bisa paham bahwa seorang istri nabi sekalipun punya kesempatan untuk keluar rumah mengurus bisnisnya. Bahkan meski telah memiliki anak sekalipun, sebab sejarah mencatat bahwa Khadijah ra. dikaruniai beberapa orang anak dari Rasulullah SAW.
Aisyah ra dan tokoh masyarakat ikut perang jamal.
Sepeninggal Khadijah, Rasulullah beristrikan Aisyah ra, seorang wanita cerdas, muda dan cantik yang kiprahnya di tengah masyarakat tidak diragukan lagi. Posisinya sebagai seorang istri tidak menghalanginya dari aktif di tengah masyarakat.
Semasa Rasulullah masih hidup, beliau sering kali ikut keluar Madinah ikut berbagai operasi peperangan. Dan sepeninggal Rasulullah SAW, Aisyah adalah guru dari para shahabat yang memapu memberikan penjelasan dan keterangan tentang ajaran Islam.
               Bahkan Aisyah ra. pun tidak mau ketinggalan untuk ikut dalam peperangan. Sehingga perang itu disebut dengan perang unta, karena saat itu Aisyah ra. naik seekor unta.
Wanita mempunyai hak untuk memiliki harta sendiri.
   Islam mengakui hak milik seroang wanita atas hartanya. Dari hukum waris, ada pengakuan bahwa wanita berhak mewarisi harta dari orang tua, kakak, suami atau anaknya.
         Dan ketika dinikahi, haruslah diberikan mahar atau harta sebagai tanda kehalalannya. Mahar ini untuk selanjutnya menjadi hak milik pribadi wanita tersebut. Suaminya tidak punya hak atas pemberiannya itu.
         Maka wanita bebas mencari harta untuk dirinya, bukan sebagai kewajiban melainkan sebagai kebolehan atau hak pribadinya. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk menghalangi wanita untuk mendapatkan harta untuk dirinya sendiri.
Para wanita pada di masa Rosululloh SAW keluar rumah.
   Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para wanita di masa Rasulullah SAW dikurung di dalam rumah. Sebaliknya, para wanita shahabiyah diriwayatkan banyak sekali melakukan aktifitas di luar rumah. Baik untuk urusan dagang, dakwah, silaturrahim, rekreasi bahkan perang sekalipun.Yang paling jelas dan tidak mungkin ditolak adalah keluarnya para wanita ke masjid. Sesuatu yang pernah ingin dilarang oleh pihak tertentu, namun tetap diberikan hak oleh Rasulullah SAW. Sehingga shalat jamaah di masjid di masa Rasulullah SAW tetap dihadiri oleh jamaah wanita. Maka mereka akan mendapat pahala shalat jamaah sebagaimana laki-laki meskipun bila tidak dilakukannya tidak menjadi masalah.
         Bahkan Rasulullah menyediakan khusus waktu dimana beliau mengajar para wanita. Para wanita shahabiyah keluar rumah dan berkumpul untuk belajar dari Rasulullah SAW.
Sedangkan para dua hari raya Islam yaitu `Iedul Fithri dan `Iedul Adh-ha, para wanita dianjurkan untuk hadir di tempat shalat (mushalla) meskipun mereka sedang mendapat haidh. Berkumpul bersama dengan para laki-laki untuk mendengarkan khutbah dan menghadiri shalat `Ied.
               Sedangkan mereka yang cenderung menolak kebolehan wanita bekerja di luar rumah, juga punya dalil dan argumen yang tidak bisa disepelekan. Diantaranya adalah :
Dalil Al-Quran
Allah SWT telah berfirman tentang keharusan wanita menetap di dalam rumah, tidak untuk keluar bepergian kesana kemari, mengisi tempat-tempat pekerjaan laki-laki, serta menjadi penghibur nafsu syahwat mereka. Dan hendaklah kamu (para wanita) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya.

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-ahzab : 33)
Dalam Hadist Rosululloh SAW
“Dalam beberapa hadits di sebutkan bahwa wanita itu tidak boleh keluar rumah sebab akan menjadi fitnah. Diriwayatkan oleh At-tirmizy marfu’an bahwa “Wanita itu adalah aurat bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya.

Menurut At-turmuzi hadis ini kedudukannya hasan shahih. Dan secara jelas disebutkan bahwa ketika seorang wanita keluar rumah, maka syetan akan menaikinya dan akan menjadi sumber masalah baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.

Jangan bandingkan zaman Rosululloh SAW dengan zaman sekarang.

Mereka juga menganggah hampir semua dalil yang menceritakan tentang keluarnya para wanita di masa Rasululah menjadi tidak relevan di masa sekarang ini. Sebab kondisi sosialnya sudah jauh berbeda. Para shahabat yang tinggal di Madinah adalah orang-orang yang suci, bersih dan sangat menjaga diri dari fitnah. Demikian juga dengan hukum yang berlaku adalah hukum Islam, dimana hampir tidak ada celah sedikitpun untuk bisa terjadinya penyelewengan. Maka dalam kondisi yang sedemikan baik itu,
bolehlah para wanita keluar rumah tnapa khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan. Sedangkan yang terjadi sekarang ini justru sebaliknya. Begitu banyak kemaksiatan dan godaan yang meraja lela digelar di tengah kita. Maka untuk masa sekarang ini, membiarkan wanita keluar rumah dan bercampur dengan laki-laki lebih beresiko dan menjadi sumber kerusakan umat.
Maka sudah selayaknya wanita muslimah yang baik tidak keluar rumah dan merusak kesucian dirinya dengan kerusakan zaman. Apalagi berjejalan di kendaraan dengan laki-laki asing, berhimpitan dan bertumpang tindih satu sama lain tanpa batas.
            Dengan memperhatikan dua kutub ini, maka kita perlu mengambil jalan tengah, antara yang mengharamkan keluarnya wanita dengan yang menghalalkan. Paling tidak kita mengerti mengapa seseorang mengharamkan atau menghalalkan. Sehingga kita tidak terjebak dengan salah satu dari dua sikap ekstrem yang berlebihan.
1. Mengapa wanita barat di perbolehkan bekerja di luar.
Wahbi Sulaiman Ghawaji dalam bukunya Al-Mar`ah Al-Muslimah menyebutkan latar belakang yang mendukung mengapa para wanita di Barat cenderung untuk bekerja ke luar rumah. Diantaranya beliau menyebutkan :
            Budaya di sana adalah bahwa orang tua tidak memberi nafkah kepada anak mereka sampai batas usia tertentu. Terutama bila sudah berusia 18 tahun, maka semua nafkah dan uang pemberian terputus sama sekali. Bahkan sekedar untuk menumpang tinggal di rumah orang tua pun sering harus membayar uang tertentu. Bahkan membayar biaya mencuci bayu dan menyetrikanya. Maka wajarlah para wanita terpaksa harus bekerja apa saja dan hal itu sudah ditanamkan sejak kecil. Sebab dia tetap harus menyambung hidupnya saat masih remaja.
Orang Barat mewarisi budaya hedonis dan rancu tentang wanita.
Atau bahasa yang lebih tepatnya adalah mengikuti hawa nafsunya saja.Kemana hawa nafsunya membawa, kesanalah mereka akan berjalan. Dan daya tarik wanita adalah tema yang paling menarik hawa nafsu. Maka wajarlah naluri mereka mengatakan bahwa seharusnya wanita ada di berbagai tempat. Di kantor, sekolah, bengkel, pompa bensin sampai pada tempat yang secara khusus dibuat untuk memberikan pelayanan wanita secara seksual (rumah bordil).
Maka tidak ada satupun wilayah dan bidang kehidupan di Barat yang tidak diisi oleh para wanita. Dan keluarnya para wanita ke berbagai tempat yang tidak cocok dengan jiwa mereka sekalipun sudah menjadi hal yang tidak bisa dihindari lagi.
Mereka tidak pernah mampu membedakan hakikat laki-laki dan wanita serta bidang wilayah pekerjaannya. Bahkan cenderung menganggap kedua jenis kelamin itu sama saja. Padahal secara pisik pun keduanya sudah berbeda. Wanita punya rahim sebagai wahana reproduksi yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Wanita punya masa menstruasi yang tidak akan pernah dialami laki-laki. Perbedaan pisik ini tentu bukan tidak ada artinya. Justru dengan mengamati perbedaan pisik ini yang berlaku pada semua jenis ras manusia, kita tahu bahwa ada jenis fungsi dan peran yang seharusnya juga berbeda. Dan bila salah dalam meletakkan fungsi dan peran itu, maka akan terjadi ketidak-seimbangan. Maka wajar pula bila ada banyak hal yang berantakan bila terjadi salah
peletakan fungsi.


3.  Adab Wanita Untuk Keluar Rumah dan Tampil Di Muka Umum.
Kalaulah ada pihak yang memberikan sedikit kebebasan bagi wanita untuk keluar dan bekerja di luar rumah, maka tetaplah harus dengan memperhatikan dan menjaga batas-batas atau adab Islam, yaitu tidak ikhtilath (berbaur antara lelaki dan perempuan), tidak membuka aurat, tidak kholwah (berdua dengan lelaki) dan terhindar dari fitnah.
Dalam kondisi normal, yang seharusnya tampil didepan umum yang terdiri dari kaum lelaki dan kaum wanita adalah orang laki-laki. Dalam kondisi tertentu, yakni adanya kebutuhan obyektif baik dalam sekala umum atau dalam ruang lingkup khusus dan tidak ada yang dapat melakukannya selain wanita yang bersangkutan, ia boleh tampil didepan umum untuk menyampaikan da`wah atau memberikan pelajaran dengan memperhatian ketentuan-ketentuan
Islam, yaitu:
Pada dasarnya memang wanita harus mendapatkan izin suami untuk keluar rumah. Dan ini sebenarnya sangat manusiawi sekali. Tidak merupakan beban dan paksaan atau menjadi halangan.
Izin dari suami harus dipahami sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian serta wujud dari tanggung-jawab seorang yang idealnya menjadi pelindung. Semakin harmonis sebuah rumah tangga, maka semakin wajar bila urusan izin keluar rumah ini lebih diperhatikan.
Namun tidak harus juga diterapkan secara kaku yang mengesankan bahwa Islam mengekang kebebasan wanita.
Jadi ini sangat tergantung dari bagaimana seorang wanita dan pasangannya memahami dan menerapkannya dalam rumah tangga. Kalau hal itu disadari secara wajar dan biasa-biasa saja, maka izin untuk keluar rumah bukan lah hal yang merepotkan. Sebagaimana pakai jilbab pun tidak merepotkan bagi yang terbiasa.
Sebaliknya, alasan yang paling sering dilontarkan para wanita yang belum terbuka hatinya untuk pakai jilbab adalah masalah repot ini juga. Buat mereka Islam itu merepotkan, karena para wanita jadi tidak bisa berekspresi dan terkekang sebab kemana-mana musti pakai jilbab. Belum lagi kalau nanti jilbabnya pletat pletot, bukan makin rapi malah bikin tidak pd. Itu lah alasan klasik yang paling sering terdengar.
Dan kasus yang sama juga pada wanita modern yang merasa terkekang ketika keluar rumah harus minta izin suaminya. Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan hal itu, pasti rasanya merepotkan. Tapi bagi yang sudah biasa, ya biasa-biasa saja. Tidak ada masakah untuk minta izin suami. Justru minta izin itu bisa menjadi wujud rasa cinta dan sayang.

B. Wanita karir dan keluarga.
            Ketika sosok wanita bekerja memasuki masa berumah tangga, segalanya jadi berbeda. Khusus bagi yang sedang berada di puncak karir, haruskah sesuatu yang telah dirintis sejak usia lajang dilepas begitu saja? Ah, keputusan yang sungguh sulit. Memang setiap orang punya pilihan dan prinsip masing-masing untuk meraih kepuasan dalam karirnya. Ada yang merasa masih banyak ambisi dan obsesi yang belum tercapai. Tetapi, haruskah juga keluarga menjadi prioritas kedua? Hal inilah yang kerap jadi dilema dalam kehidupan pasangan suami-istri. Persoalannya tambah tidak sederhana ketika anak juga menuntut perhatian yang khusus dari sang ibu. Bagaimana agar segala keputusan yang diambil dapat menyenangkan semua pihak dalam keluarga?
            Mungkinkah keseimbangan antara peran menjadi ibu, tetap mempertahankan karir tanpa mengesampingkan anak dan keluarga, hanya sebuah mitos bagi wanita? Peran seorang wanita ketika memasuki jenjang perkawinan tampak menjadi begitu kompleks ketika berbagai kepentingan saling berbenturan. Saat seorang wanita dituntut menjadi ibu yang bertanggungjawab atas keberadaan anak dan tetap utuhnya rumah tangga, disamping keinginan meraih kemajuan dari balik dunia kerja, membuat banyak wanita terperangkap pada dilema. Harus memilih salah satu -- keluarga atau karir?
            Melalui sebuah observasi dan wawancara dengan banyak wanita karir sukses, Emma Charlotte Brown -- seorang penulis Australia menyimpulkan, bahwa untuk keluar dari dilema antara keluarga atau karir dapat dijawab dengan bagaimana setiap wanita memandang nilai sebuah kebahagiaan dalam hidupnya. Ada yang merasa tiada kebahagiaan lain kecuali melihat anak-anak tumbuh didampingi seorang ibu yang dapat membimbing dan menemani sang anak sepanjang waktu. Itu artinya, rasa bahagia seorang wanita akan benar-benar terasa bila dapat memenuhi perannya sebagai ibu. ''The real mother for their children,'' seorang ibu yang benar-benar hadir untuk anaknya. Namun ada pula wanita yang berpendapat tak perlu harus meninggalkan dunia kerja sepanjang keluarga dan anak-anak dapat menerima hal tersebut. Pendapat ini menegaskan harus ada usaha untuk memenuhi keinginan agar dua unsur penting dalam hidup wanita yang telah berumah tangga itu berjalan harmonis.
            Apapun keputusan yang diambil, sama-sama punya konsekuensi. Solusi terbaik adalah dengan membicarakan lebih lanjut pada seluruh anggota keluarga. Karena pada dasarnya keberadaan suami dan anak harus diperhatikan secara sungguh-sungguh sebelum akhirnya mengambil sebuah sikap. Tentu saja setiap keluarga punya pertimbangan sendiri dan profil yang berbeda-beda. Inilah yang menyebabkan pengambilan kesepakatan dalam keluarga jadi berbeda. Ternyata ada satu cara yang dinilai cukup bijaksana dan boleh jadi ini merupakan sebuah ''jalan tengah''. Wanita tak mesti kehilangan kesempatan kerja karena ada beberapa pekerjaan yang bisa diambil paruh waktu (part time). Pekerjaan itu bisa diselesaikan di rumah sambil tetap mengawasi sang anak dan memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga.
            Tetap bekerja bukan berarti melupakan keluarga. Karena pekerjaan yang diambil adalah part time yang memungkinkan seorang wanita mengerjakannya di rumah. Anna Barr, mantan public relation manager sebuah produk kosmetik internasional mengisahkan pada saat dirinya sampai pada puncak karir. ''Segalanya memang tidak mudah, sulit sekali mengatur waktu antara keluarga dan karir,'' ungkap Anna. Dengan dua orang putri yang telah masuk masa sekolah, Anna Barr benar-benar merasa kurang memperhatikan perkembangan sang putri di tengah kesibukannya saat harus pergi ke kantor pagi-pagi dan pulang setelah petang dengan keadaan yang lelah. Anak-anak Anna lebih banyak didampingi pembantu sampai tugas antar jemput dan menemani membuat PR pun beralih. Anna tak bisa konsen pada kesulitan yang dialami dua putrinya saat menemukan masalah dimana seorang ibu mungkin dapat memecahkannya. Sang nenek -- ibu Anna, jadi sering menegur tentang jarangnya Anna bisa bersama anak-anak.
            Perlahan Anna mencoba mencari solusi. Awalnya pada sang atasan, Anna minta agar ada semacam kelonggaran buatnya supaya ia bisa meluangkan sedikit waktu untuk anak-anaknya. Sang bos memberi solusi dengan konsep job sharing -- ada beberapa pekerjana Anna yang bisa dibagi dengan teman sekantornya hingga tersisa waktu untuk menjemput dua putrinya dari sekolah. Namun itupun masih belum cukup, Anna benar-benar terpanggil untuk memenuhi tugasnya sebagai seorang ibu. Karena di situlah menurutnya kebahagiaan yang paling nyata. Akhirnya Anna merasa kebahagiaannya lengkap sebab tetap dapat beraktivitas dan mengasah diri dengan menjadi konsultan komunikasi pada sebuah lembaga pengembangan diri. Pekerjaan itu diambilnya paruh waktu. Dalam hal ini konsep pemikiran Anna sangat jelas, hakikat kesuksesan seorang wanita baginya adalah keluarga yang bahagia.
Pemikiran Anna tampaknya tak jauh berbeda dengan Nikki Goldstein, penulis Australia yang semula adalah seorang jurnalis. Ia memutuskan untuk menjadi penulis freelance ketika masuk masa berumah tangga. Keputusan itu diambilnya kendati ia belum punya anak. Nikki tak mau mempunyai suatu beban yang baginya akan sangat mengganggu konsentrasinya dalam menulis. Bila ia merasa bahagia dengan kehidupan berumah tangga, maka ia yakin hal tersebut akan membuatnya bisa lebih produktif lagi. Waktunya pun jadi lebih banyak terisi dengan kegiatan yang bisa membuatnya merasa lebih ''menikmati hidup''. Nikki yang juga gemar melakukan latihan meditasi dan yoga ini mengungkapkan, wanita berhak menentukan sendiri kebahagiaannya tanpa tergantung dari pendapat umum dalam masyarakat. Namun begitu seorang wanita harus tetap menyadari sebuah keterbatasan untuk mengatur prioritas dalam hidupnya.
Sedikit berbeda dengan Anna dan Nikki, manajer wanita sukses dari sebuah perusahaan Microsoft Australia, Inese Kingsmill memilih tetap bekerja full time. Apakah keluarganya tak bermasalah? Tidakkah sang suami komplain akan hal ini? ''Sebelumnya kami telah bicara, sepanjang bisa mengatur waktu, tak pernah ada masalah,'' ungkap Inese. Dibalik itu semua, Inese mengakui ada beberapa hal yang harus dikorbankannya. Waktu untuk menyenangkan diri sendiri memang dirasakan sangat sempit baginya. Karena waktu itu telah ia isi untuk anak-anak dan keluarga. Dalam beberapa kesempatan Inese dan keluarga sering bepergian bersama untuk mewujudkan kembali rasa utuh dalam rumah tangga. Ia merasa sangat beruntung mendapat pengertian yang besar dari suami dan anak-anaknya.
Pengertian keluarga dalam hal ini memegang peranan yang sangat penting. Dukungan suami dan anak-anak berpengaruh besar bagi mereka yang memutuskan untuk terus berkarir. Semua tampaknya kembali pada dasar pemikiran tentang konsep rasa bahagia bagi wanita. Apakah rasa bahagia itu ada dalam keluarga atau pekerjaan. Alangkah baiknya bila kedua hal tersebut berjalan seimbang. Sehingga, ungkapan ''be a woman'' yang menekankan agar seorang wanita dapat menjalankan perannya dengan sungguh-sungguh dapat terwujudnya. Karir, keluarga, dan anak-anak dapat menjadi wujud yang harmonis dalam diri seorang wanita. 


BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Yaitu berdasarkan pada kisah Nabi yang mempunyai istri yang aktif dalam dunia bisnis, yakni khotijah, harta hasil jerih payah bisnis khotijah ra itu amat banyak menunjang dakwah. Setelah Khotijah wafat rosululloh menikah dengan Aisyah ra. Seorang wanita cerdas, muda dan cantik yang kaprahnya di tengah masyarakat tidak di ragukan, posisinya sebagai seorang istri tidak menghalanginya dari aktif di tengah masyarakat dan sepeninggal Rosululloh, dia adalah guru dari para sahabat yang mampu memberikan penjelasan dan keterangan tentang ajaran Islam.
Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para wanita di masa Rosulluloh SAW di kurung dalam rumah. Sebaiknya para wanita shahabiyah di riwayatkan banyak sekali melakukan aktivitas di luar rumah baik untuk urusan dagang, dakwah, silaturrahmi, rekreasi, bahkan perang sekalipun.
Dalil al-baqoroh hal 4 dan hadist 4 juga membandingkan zaman Rosululloh SAW dengan zaman sekarang karena kondisi sosialnya sudah jauh berbeda,
Jika ada atau kalaulah ada pihak yang memberikan sedikit kebebasan bagi wanita untuk keluar dan bekerja di luar rumah maka tataplah harus meperhatikan dan menjaga batas-batas atau adap dalam islam yaitu.
B. Saran
            Semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi penulis khususnya pada para  pembaca pada umumnya.