Ilmu dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dalam mendudukkan ilmu dan dalil-dalil syar'i, ada
kekeliruan yang hampir menjadi konsumsi umum, tidak saja kalangan orang awam,
tapi juga sebagian kalangan intelektual bahkan mereka yang biasa mengajarkan
din (baca: ustadz). Umumnya mereka menyamaratakan terminologi ilmu, baik ilmu
syar'i maupun ilmu duniawi. Ironinya, yang mereka pakai untuk mendalili masalah
ilmu itu justeru dalil-dalil yang sesungguhnya khusus untuk ilmu syar'i. Nabi `
bersabda:
"Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, niscaya ia
dipahamkan dalam urusan agama." (HR. Bukhari dan Muslim).
"Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar atau
dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu, barangsiapa mengambilnya maka ia telah
mengambil bagian (warisan) yang banyak." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Kita sangat paham, yang diwariskan para nabi tidak lain
adalah ilmu syar'i, bukan ilmu-ilmu lain. Karena itu, sangat wajar ketika Nabi
` salah menegur para sahabat yang mengawinkan bunga pohon kurma. Sehingga
beliau bersabda:
"Kalian lebih mengetahui urusan dunia
kalian."(HR. Muslim).
Jika yang dimaksud ilmu dalam terminologi Al-Qur'an dan
As-Sunnah itu termasuk juga ilmu duniawi, tentu Nabi saw. adalah orang yang
mestinya paling lebih tahu. (Mujammad Ibn Utsmain, Kitabul Ilmi, 5-7). Maka
yang dimaksud orang alim ditinggikan derajatnya oleh Allah dalam surat
Al-Mujadalah ayat 11 adalah alim dalam ilmu syar'i. Allah ` berfirman:
"Allah meninggikan orang-orang yang beriman di
antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat."
(Al-Mujadalah: 11).
Asy-Syaukani dalam tafsirnya, Fathul Qadir, mengatakan: "Makna ayat tersebut adalah Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman atas orang-orang yang tidak beriman beberapa derajat. Dan Allah akan mengangkat derajat (orang-orang beriman) yang berilmu atas orang-orang yang beriman (saja, tetapi tidak berilmu) beberapa derajat. Dan barangsiapa menghimpun iman dan ilmu dalam dirinya maka dengan imannya Allah akan mengangkatnya beberapa derajat, dan dengan ilmunya pula Allah akan mengangkatnya (lagi) beberapa derajat. Ada pendapat yang mengatakan, yang dimaksud ilmu di sini adalah orang-orang yang ahli dalam bacaan Al-Qur'an (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, h. 418). Namun konteks ayat itu sesungguhnya adalah umum. Yakni setiap mukmin yang berilmu syar'i dalam berbagai disiplinnya seperti ilmu aqidah, Tafsir, Hadis, dll. Sebab tidak ada dalil yang menunjukkan adanya pengkhususan ilmu syar'i tertentu atas ilmu-ilmu yang lain (dalam konteks ayat tersebut)." (Syaukani, Fathul Qadir, h. 189)
Asy-Syaukani dalam tafsirnya, Fathul Qadir, mengatakan: "Makna ayat tersebut adalah Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman atas orang-orang yang tidak beriman beberapa derajat. Dan Allah akan mengangkat derajat (orang-orang beriman) yang berilmu atas orang-orang yang beriman (saja, tetapi tidak berilmu) beberapa derajat. Dan barangsiapa menghimpun iman dan ilmu dalam dirinya maka dengan imannya Allah akan mengangkatnya beberapa derajat, dan dengan ilmunya pula Allah akan mengangkatnya (lagi) beberapa derajat. Ada pendapat yang mengatakan, yang dimaksud ilmu di sini adalah orang-orang yang ahli dalam bacaan Al-Qur'an (Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, h. 418). Namun konteks ayat itu sesungguhnya adalah umum. Yakni setiap mukmin yang berilmu syar'i dalam berbagai disiplinnya seperti ilmu aqidah, Tafsir, Hadis, dll. Sebab tidak ada dalil yang menunjukkan adanya pengkhususan ilmu syar'i tertentu atas ilmu-ilmu yang lain (dalam konteks ayat tersebut)." (Syaukani, Fathul Qadir, h. 189)
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa sebegitu
superior kedudukan ilmu syar'i dibanding ilmu-ilmu lain (baca: duniawi)?
Analisa empiriknya adalah sebagai berikut; Tidak ada satu materi pun dari ilmu
syar'i yang secara substantif membahayakan atau berdampak negatif. Semua ilmu
syar'i adalah bermanfaat dan untuk kemaslahatan umat manusia. Berbeda dengan
ilmu duniawi, ia memiliki dua sisi ketajaman; sarana kemanfaatan umat manusia
dan atau sarana penghancur kehidupan. Karena itu, menentukan hukum ilmu duniawi
harus terlebih dahulu ditinjau dari sisi kemanfaatan dan kemudharatannya. Dan
secara umum, bila ilmu duniawi itu baik dan untuk kemaslahatan manusia, maka
hukum mempelajarinya bisa menjadi fardhu kifayah, manakala masuk dalam firman Allahl:
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan
apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang." (Al-Anfal: 60).
Demikian itulah sudut pandang agama terhadap ilmu secara
umum.
Hukum Menuntut Ilmu Syar'i
Dari segi obyeknya, menuntut ilmu syar'i (agama) secara
muthlak hukumnya adalah fardhu kifayah. Hal ini berdasarkan firman Allah:
"Tidaklah sepatutnya segenap kaum mukminin itu
berangkat berperang. Mengapa tidak ada segolongan dari mereka yang berangkat
untuk mendalami urusan din dan agar mereka memberi peringatan kepada kaum
mereka bila mereka telah kembali, mudah-mudahan mereka menjadi ingat."(QS.
al-Taubah: 122)
Tapi ditinjau dari sisi subyeknya, maka hukum menuntut
ilmu syar'i bisa menjadi fardhu ain (wajib secara individu). Dalam arti, setiap
orang wajib mengetahui (mengilmui) setiap ibadah atau muamalah yang
dikerjakannya. Karena Islam sangat menekankan ilmu sebelum beramal. Seorang
pribadi muslim adalah seorang yang bertindak dan berbuat berdasarkan
pengetahuan, bukan latah dan asal melangkah. Dalam bahasa modern, pribadi
muslim adalah pribadi yang profesional, yang berbuat berdasarkan ilmu dan
konsep yang matang. Allahl berfirman:
"Dan janganlah engkau berpijak (bertindak) tidak
atas berdasarkan ilmu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu ada pertanggungjawabannya."(QS. al-Isra': 36).
Ketika Manusia Penasaran
"Segala manusia ingin mengetahui", demikian
kalimat pembukaan karya Aristoteles, Metaphysica. Apa yang ingin diketahui
manusia itu bersifat umum, kompleks dan mengandung pengertian yang sangat luas.
Dan yang paling utama adalah kegelisahan untuk mengetahui ilmu agama, tetapi
juga termasuk di dalamnya segala disiplin ilmu. Kegelisahan manusia untuk
selalu mengetahui, termasuk mengetahui hal-hal baru tersebut, bagi para ilmuwan
adalah sebuah keniscayaan, kecuali jika ajaran atau ilmu tersebut jelas-jelas
bertentangan dengan aqidah. Dengan kata lain, menfungsikan akal secara
dinamiskreatif haruslah dengan memposisikan akal di bawah superioritas wahyu
(baca: landasan syar'i). Sehingga ketika terjadi kontradiksi antara keduanya,
maka yang didahulukan adalah wahyu, bukan akal seperti prinsip Mu'tazilah.
Posisi Akal dalam Ilmu Syariah
Karena kebebasan berfikir sebagai akibat dari, di
antaranya, pesatnya perkembangan berbagai ilmu pengetahuan, utamanya dalam hal
ini adalah filsafat maka tak sedikit intelektual muslim (demikian biasa disebut
orang) yang kebablasan. Dengan gegap gempita mereka menyuarakan perlunya
merekonstruksi kembali tatanan dan hukum-hukum agama yang telah baku sejak awal
sejarah Islam. Ironinya, mereka senang mengutak-atik hal-hal yang telah clear
and distinc (jelas dan tegas) dalam agama daripada membahas persoalan-persoalan
aktual yang muncul yang belum ada pembahasan sebelumnya. Hal-hal yang mereka
bahas itu entah dengan motivasi apa dan karena siapa di antaranya adalah
masalah hukum waris, salam, gender, jilbab dan sejenisnya yang sebetulnya telah
selesai dibahas dengan dalil-dalil yang autentik dan tegas kesahihannya, kecuali
jika interpretasinya diplintir dan konstruksi kebenaran agama diporakporandakan
parameternya.
Bila kita cermati kehidupan masyarakat, ada dua fenomena
menonjol yang saling berlawanan tentang penggunaan akal, yang ironinya
masing-masing menunjukkan ekstrimitas. Yang per tama adalah fenomena filsafat
yang identik dengan kebebasan berfikir tanpa batas, tanpa mau mengenal
petunjuk-petunjuk wahyu dan agama. Bahkan menjadi 'sesuatu yang lucu dan
dihinakan' di kalangan filsuf bila ada yang berbicara filsafat memakai
dalil-dalil agama. Karena itu, para filsuf besar lebih banyak 'beragama'
filsafat, ilmu yang digelutinya tiap saat. Menuhankan akal pikirannya, atau
bahkan tidak bertuhan sama sekali (atheis). Yang sangat memiriskan, tidak
sedikit intelektual muslim yang bergelut dengan filsafat terkena pengaruh
tradisi dan pola pikir filsafat. Fenomena kedua adalah adanya kelompok manusia,
juga sebagian umat Islam yang sangat meremehkan penggunaan akal. Bahkan
kenyataan yang ada mengesankan, sebaiknya orang tidak usah berfikir dan
menggunakan akalnya. Orang yang berbicara dengan metode berfikir yang runut,
logis, kritis dan argumentatif serta merta dijuluki sebagai 'aqlani, menyimpang
dan sebagainya, padahal belum tentu menyimpang dari wahyu.
Rambu-rambu Akal
Betapapun begitu, penggunaan akal tanpa batas, jelas jauh
lebih sangat berbahaya dari mempensiunkan akal untuk berfikir. Sebab jika
terlalu jauh, ia akan menuhankan akalnya, menjauhi ilmu syar'i dan imannya
hilang. Untuk itu, dalam hal penggunaan akal, paling tidak ada sebelas
rambu-rambu yang mesti diperhatikan:
Pertama, memahami bahwa dasar agama
bukanlah akal atau logika manusia, melainkan wahyu Allah; Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Karena seberapa pun canggih akal manusia, tetapi di hadapan wahyu
Allah ia adalah lemah.
Kedua, memahami adanya ayat-ayat
muhkamat (yang terang dan tegas maksudnya dan dapat dipahami dengan mudah) dan
ayat-ayat mutasyabihat; ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak
dapat ditentukan arti dan maknanya kecuali sesudah diselidiki secara mendalam,
atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, seperti
ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib. Ini tentunya agar tidak
terjebak dalam memahami ayat al-Qur'an, sebagaimana para filsuf.
Ketiga, Apabila suatu masalah telah
ada dalilnya, baik dari Al-Qur'an maupun Hadits sahih, maka akal atau logika
manusia harus tunduk, karena ia adalah tuntunan dan wahyu Allah.
Keempat, tidak mengubah pengertian
dalil dari pengertian aslinya. Biasanya hal ini dilakukan dengan memotong-motong
dalil disesuaikan dengan keinginan dan hawa nafsu.
Kelima, Tidak meng gunakan takwil.
Yakni pengalihan dari makna yang dekat kepada makna yang jauh.
Keenam, tidak menggunakan qiyas
(analog) yang bertentangan dengan dalil. Para ulama Salaf mengatakan,
menggunakan qiyas yang bertentangan dengan nash (dalil) adalah cara iblis.
Ketujuh, memahami mana yang termasuk
wilayah ijtihad dan mana yang bukan. Karena tidak semua masalah dalam agama
bisa dimasuki daya kritis otak manusia.
Kedelapan, menahan diri dari membahas
hal-hal yang tidak perlu, karena hal itu bisa memporak-porandakan hukum agama.
Kesembilan, memiliki landasan
pemahaman agama yang kuat dan mendalam melalui penguasaan berbagai disiplin
ilmu agama.
Kesepuluh, menguasai bahasa Arab dengan
baik. Karena mayoritas teks-teks agama adalah ditulis dengan bahasa Arab.
Kesebelas, memiliki motivasi yang ikhlas
untuk pengembangan kajian keilmuan Islam, bukan motivasi-motivasi lain yang
bersifat duniawiah dan sesaat.
Bila kesebelas rambu-rambu di atas diperhatikan sebelum
daya kritis dan berfikir filosofis diterapkan dalam kajian Islam, maka insya
Allah out put yang kita panen adalah keterarahan kajian Islam pada rel yang
benar dan kebergairahan pengembangan metodologi dan berfikir kritis analitis demi
kemajuan pengembangan kajian-kajian Islam.
Kebutuhan ilmu syar'i dan kaderisasi
Ada banyak alasan bahwa kebutuhan kita terhadap ilmu
syar'i saat ini sangat mendesak, di antaranya:
Pertama, semakin merebaknya berbagai
bid'ah di tengah-tengah umat Islam. Apalagi di era reformasi ini, hampir tidak
ada yang mampu membendung berbagai kreasi dan inovasi baru dalam perkara agama
(baca: bid'ah), karena kran kebebasan dibuka seluas-luasnya.
Kedua, semakin suburnya orang-orang
yang berbaju ulama, tetapi bukan ulama. Mereka dengan mudahnya memberikan
fatwa-fatwa agama tanpa didasari ilmu, melainkan dengan logika/akal dan atau
pada perasaan mereka. Di sisi lain, masyarakat buta untuk bisa membedakan fatwa
yang benar dengan fatwa yang menyalahi dalil.
Ketiga, kecenderungan untuk
mendudukkan diri sendiri sejajar dengan para ulama salafush shalih. Misalnya
dengan jargon, mereka laki-laki, maka kita juga laki-laki. Dalam arti, punya
kewenangan dan otoritas yang sama dalam membahas dan atau mencermati kemudian
mengambil kesimpulan hukum/ berijtihad. Implikasinya, banyak berbagai persoalan
yang menurut para ulama telah jelas, diutak-atik kembali dan dijungkirbalikkan
dengan tanpa ditopang dalil yang kuat, malahan terkadang hanya berdasarkan
logika yang lemah. Istilah mereka, perlu diadakan rekonstruksi syari'ah, atau
peninjauan dan pembongkaran kembali makna, kandungan, dan hukum-hukum syari'ah.
Berbagai kenyataan di atas menuntut kita umat Islam,
khususnya umat Islam Indonesia untuk segera melakukan kaderisasi ulama.
Melakukan terobosan baru dalam metodologi pendidikan dan pengkaderan, misalnya
dengan sistem sintesa dari berbagai metodologi yang telah ada.
Hal kongkrit yang bisa dilakukan misalnya dengan
memberikan dukungan penuh kepada mereka yang benar-benar mau konsentrasi sepenuhnya
untuk menuntut ilmu. Dukungan itu baik secara finansial maupun moral. Hal ini
dengan harapan kelak dia akan memiliki pemahaman agama yang mendalam, serta
meng gunakan hikmah dalam memperbaiki umat. Sebab gejala yang ada adalah banyak
orang yang secara teori menguasai ilmu/pemahaman terhadap berbagai persoalan
agama (namun mereka bukan ulama), tetapi tidak mau memperhatikan bagaimana bisa
mendidik, memperbaiki dan mengarahkan umat yang merupakan tujuan dakwah. Mereka
terpaku pada teks-teks dan hukum-hukum yang ada. Bila kondisi riel masyarakat
menyalahi hukum-hukum yang mereka pahami tsb, serta merta keadaan itu divonis.
Alih-alih diarahkan, mereka malah dijadikan sasaran tembak.
Urgensi Lembaga Kajian Islam
Ke depan, perlu diberikan wadah yang kondusif untuk
peningkatan keilmuan sekaligus sebagai tempat berinteraksi sesama kader. Dan
karena itu, adanya Pusat Kajian Islam (di) Indonesia adalah sesuatu yang
niscaya. Kita sangat mendukung adanya pondok-pondok pesantren yang secara
terus-menerus memberikan pendidikan dan pengajaran ilmu syar'i kepada santri
dan masyarakat. Tetapi kalau boleh dipilah, pondok pesantren adalah lembaga
Islam yang menangani pendidikan Islam untuk masyarakat secara umum. Adapun
Pusat Kajian Islam (di) Indonesia, maka diproyeksikan khusus menangani
kader-kader pilihan yang diharapkan menjadi ulama Indonesia masa depan. Jumlah
guru dan santrinya tidak perlu dilihat secara kuantitatif, sebab yang paling
penting adalah kualitas. Namun hal yang harus diperhatikan sekali adalah adanya
sarana-sarana pendukung yang representatif, seperti sarana gedung, dosen yang
handal, perpustakaan lengkap, fasilitas beasiswa dan sebagainya. Tidak ber
lebihan jika dalam proyek ini kita melakukan stu di banding kepada halaqah syeh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah di kota Qasim Arab Saudi, juga ke
tempat-tempat pembinaan kader-kader intelektual dalam berbagai disiplin ilmu
yang berbeda di berbagai belahan dunia. Dari berbagai sintesa tersebut, kita
kemudian merumuskan sistem pengelolaan Pusat Kajian Islam Indonesia secara
modern dan profesional.
Ilmu syar'i adalah mutlak dan sangat penting bagi setiap
individu muslim. Karena itu setiap muslim harus menaruh perhatian serius kepada
ilmu syar'i, baik yang sifatnya fardhu ain bagi dirinya maupun yang bersifat
fardhu kifayah. Penggunaan akal sesuai tuntunan Islam akan menjadikan manusia
selalu terarah dan dinamis. Saat ini, kenyataan umat Islam masih jauh dari
idealita dan harapan. Untuk itu, yang perlu digarap terlebih dahulu adalah
lebih menfokuskan perhatian kepada ilmu syar'i sesuai dengan manhaj salafush
shalih. Sebagai salah satu bentuk kaderisasi dan agenda besar umat, perlu
didirikan sebuah Pusat Kajian Islam (di) Indonesia yang representatif. Pusat
Kajian Islam ini harus digarap dan dikembangkan secara terus-menerus metodologi
dan sistemnya,dengan menjadikan para ulama salaf dunia Islam sebagai pembina
sekaligus -kalau memungkinkan- dosen-dosen luar biasa. Dan ini tentu memerlukan
daya nalar yang kritis kreatif dari pengelola yang diamanati kerja besar
tersebut.Ainul Haris